Sabtu, 22 Oktober 2016

Kondisi Sosial Masyarakat Baduy

Source pict : http://www.wacana.co/2013/01/suku-baduy/

Baduy apabila dilihat dari asal usul katanya terdapat kesimpangsiuran, ada sumber yang mengatakan bahwa “baduy” ini berasal dari salah satu peneliti Belanda yang memberikan nama Baduy karena masyarakat atau penduduknya yang berpindah-pindah (nomaden) seperti masyarakat Badawi di Arab Saudi. Ada juga yang mengatakan Baduy karena diambil dari nama gunung baduy dan sungai baduy yang ada dibagian utara wilayah tersebut. Namun bagi orang baduynya mereka lebih suka menamai dirinya dengan sebutan orang Kenekes. Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.
Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo Di Baduy dalam yang menjadi tetua atau anutan yaitu Pu’un (ketua adat) setelah itu Jaro (wakil adat). Orang Baduy mata pencahariannya adalah sebagai petani dan pengrajin. Dan yang paling utama masyarakat baduy adalah bertani padi diladang (tanah kering) atau yang disebut dengan padi “gogo”, selain itu banyak sekali tumbuh- tumbuhan dan sayur- sayuran yang mereka tanam diladang baik itu timun, jagung, durian, jambu, dan lain- lain sebagai penopang hidupnya. Selain untuk dimakan sendiri orang baduy dalam juga mengenal transaksi jual beli dalam hal ekonomi di mana hasil hutan yang lebih dijual kepada orang luar, seperti pisang, durian, rambutan, madu, dan sebagainya. Dalam transaksi ini selain jual beli padi. Bagi masyarakat Baduy adanya larangan untuk menjual padi, karena setelah panen padi di baduy dalam maka langsung disimpan dalam lumbung padi. Hal ini sebagai persediaan atau sebagai tabungan dihari tua, oleh karena itu di Baduy tidak ada kata kelaparan atau kekurangan pangan hal ini disebabkan karena sistem adat ini.

Dalam hal kebudayaan masyarakat Baduy dalam sangat berpegang teguh dengan adat- istiadat yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. Adat istiadat Baduy dalam yang masih dipegang teguh sampai sekarang antara lain tidak memakai alas kaki, memakai baju berwarna putih dan ikat kepala putih serta celana pendek hitam dengan sabuk kain putih, baju yang tidak berkrah, tidak berkancing, dan dijahit tangan sendiri, berjalan kaki, tidak menggunakan alat elektronik seperti (handphone, televisi, radio), tidak adanya listrik, sistem perkawinan yang dijodohkan, tidak merusak hutan, dan sebagainya. Di perkampungan Baduy dalam sangat jauh dari kata maju dimana dalam menjangkau atau menuju ke Baduy dalam harus jalan kaki dan jalanya masih tanah (tidak ada pengeras jalan atau jalan aspal), tidak ada listrik yang masuk desa, tidak ada pendidikan formal, dan sarana kesehatan di Baduy dalam. Menurut Jarosami (wakil adat) di baduy dalam (Cibeo) pendidikan bagi anak Baduy mengikuti orang tuanya, pendidikan berasal dari orang tua masing- masing untuk anak- anak usia sekitar 10 tahun kebawah misalnya dalam belajar berkebun diladang bagi yang laki- laki, dan bagi yang perempuan belajar memasak, bersih- bersih dan sebagainya. Untuk umur 10 tahun ke atas (dewasa) di Baduy dalam ada perkumpulan dimana maksud dari perkumpulan tersebut untuk memberikan pengarahan mengenai adat istiadat, perilaku hidup, dan tata cara bertani yang kegiatannya secara berkontinu atau berulang- ulang ini biasanya dilakukan oleh tetua di Baduy dalam misalnya Jaro.

Mengenai adat dan aturan pernikahan dalam masyarakat Baduy dalam tidak mengenal kata “pacaran” dalam melakukan pernikahan anak Baduy dalam harus melalui perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kedua belah pihak. Anak disini tidak memiliki hak untuk memilih jodohnya siapa. Apabila anak melanggar perintah orang tua atau menolak perjodohan. Maka ada hukum adat dimana anak tersebut diasingkan di Baduy luar selama 40 hari, setelah itu apabila bisa berubah maka diperbolehkan untuk kembali ke Baduy dalam. Batasan menikah anak Baduy dalam menurut bapak Jarosami sekitar 13 - 19 tahun bagi perempuan sedangkan untuk laki- laki antara 18- 25 tahun. Upacara dalam pernikahan di Baduy dalam dilakukan tiga kali, dimana yang pertama keluarga mempelai laki- laki membawa sirih ke rumah mempelai perempuan apabila itu diterima oleh pihak perempuan maka hari berikutnya, yang kedua keluarga dari mempelai laki- laki membawa cicin pernikahan apabila itu diterima oleh pihak perempuan maka hari berikutnya, yang ketiga mempelai laki- laki membawa alat- alat rumah tangga dan akad nikah kerumah mempelai perempuan. Di Baduy dalam yang menikahkan adalah Pu’un atau ketua adat. Setelah menikah anak untuk sesaat terserah akan tinggal dimana baik akan tinggal satu rumah dengan ibu dari laki- laki maupun dari ibu perempuan. Di Baduy dalam setelah berkeluarga diwajibkan harus memiliki rumah sendiri. Masyarakat Baduy dalam juga tidak mengenal mengenai sabun, pasta gigi, dan deterjen. Bagi masyarakat Baduy dalam apabila mereka mandi menggunakan sabun, pasta gigi, dan deterjen untuk mencuci baju maka itu akan mencemari sungai dan mematikan habitat yang ada disungai misalnya ikan. Karena prinsip bagi orang Baduy dalam adalah menjaga kelestarian lingkungan alam mereka dan tidak akan merusak.




Referensi :
http://ayobelajarpendidikan.blogspot.co.id/2015/10/asal-mula-suku-baduy-badui-dalam-baduy.html
http://blog.tukangjalan.com/asal-usul-suku-baduy-atau-urang-kanekes.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Urang_Kanekes

0 komentar:

Posting Komentar

 
;